What I Learn from Tadabbook - ISLAM.IS.ME

Posting Komentar

Bismillah...

Saya baru saja menyelesaikan pertemuan perdana kelas Tadabbook by mas Ansori (24 November 2025 jam 19.40 - 21.10). Seperti yang mungkin bisa kamu tebak dari namanya, Tadabbook berasal dari gabungan dua kata Tadabur dan book. Tadabur sendiri didefinisikan sebagai perenungan mendalam terhadap suatu perkara untuk memahami makna dan hikmah di dalamnya, serta menerapkannya dalam kehidupan. Sedangkan book dalam bahasa Inggris berarti buku.

Kelas ini adalah kelas 2 pekan sekali yang membahas atau men-tadaburi buku terbarunya Ustad Felix Siaw - Islam Is Me. Entah kenapa membaca judul bukunya mengingatkan saya pada bukunya bang Pandji Pragiwaksono Nasional Is Me. Apa mungkin UFS terinspirasi dari sana ya? Terlebih beberapa waktu terakhir mereka cukup sering collab di youtube.

Saya sendiri belum memiliki bukunya, makanya saya ikut kelas ini terlebih dahulu mana tahu saya jadi tergoda untuk beli bukunya juga pada akhirnya ya kan 😁.

Pelajaran pertama yang langsung “nemplok” di kepala saya malam itu adalah satu kalimat sederhana tapi dalam:

Menjadi Muslim itu mudah. Menjadi Muslim yang baik, itu yang tidak mudah.

Kenapa mudah? Karena untuk “login” sebagai Muslim, syaratnya sebenarnya simpel: dua kalimat syahadat. Diucapkan dengan sadar, diyakini dengan sungguh-sungguh. Selesai.

Tapi masalahnya, setelah login… banyak dari kita berhenti di situ.

Di sinilah muncul yang disebut Mas Ansori sebagai gap antara Muslim ekspektasi dan Muslim realita. Di Al-Qur’an, gambaran seorang Muslim itu luar biasa indah: jujur, adil, lembut, bertanggung jawab, berakhlak. Tapi di dunia nyata? Kita semua tahu jawabannya.

Dan di titik ini, saya mulai sadar bahwa masalahnya bukan di Islam-nya, tapi di pondasi ke-Islam-an kita.


Induknya Perubahan Itu Ada di Dalam, Bukan di Luar

Mas Ansori lalu masuk ke inti besar pertemuan pertama: Induknya Perubahan.

Kalau dipikir-pikir, kita sering banget ingin perubahan dari luar.

Pemerintahnya ganti. Sistemnya dibenerin. Lingkungannya diubah. Orang lain disadarkan.

Tapi jarang sekali kita mulai dari pertanyaan Iman saya sendiri sudah sekuat apa?

Allah sebenarnya sudah “spill” konsep perubahan ini sejak lama lewat QS. Ibrahim ayat 24–25. Tentang kalimat yang baik yang diibaratkan seperti pohon yang baik: akarnya kuat, cabangnya menjulang ke langit, dan berbuah sepanjang waktu dengan izin Allah.

Analoginya sederhana, tapi dalam sekali.

Aqidah diibaratkan sebagai akar. Tidak terlihat, tapi menentukan hidup atau matinya pohon.

Syariah adalah batang dan cabang. Struktur yang menegakkan.

Dakwah dan amal saleh adalah buah. Bagian yang dirasakan manfaatnya oleh orang lain.

Dan seperti pohon kurma (yang sangat dekat dengan konteks turunnya Al-Qur’an), semua bagiannya punya fungsi. Tidak ada yang sia-sia.


Saya jadi teringat satu kalimat yang rasanya menohok tapi jujur:

Untuk mengubah sesuatu yang tampak pada manusia, kita harus mengubah sesuatu yang tak tampak darinya.


Kalau akarnya lemah, mau dihias sebagus apa pun, pohonnya tetap akan tumbang.

Kalau Akar Lemah, Jangan Salahin Angin

QS. Ibrahim ayat 26 menjadi kelanjutan yang agak “ngeri” sebenarnya. Tentang pohon yang buruk, yang akarnya tercabut dari permukaan bumi. Tidak bisa berdiri sedikit pun.

Di sini saya merasa Allah seperti sedang bilang Kalau pondasinya rapuh, jangan heran kalau semuanya gampang roboh.

Dan jujur, ini relevan sekali dengan kondisi umat hari ini. Banyak yang terlihat Islami di luar, tapi rapuh di dalam. Ibadah ada, tapi akhlak kosong. Semangat tinggi, tapi mudah marah, mudah mencaci, mudah merasa paling benar.

Bukan karena Islamnya kurang. Tapi karena akarnya belum menghujam cukup dalam.


Masuk ke Episode 2: Hakikat Keimanan

Kalau Episode 1 bicara tentang dari mana perubahan dimulai, Episode 2 langsung mengajak kita masuk ke pertanyaan yang lebih mendasar Sebenarnya, apa itu iman?

Selama ini, iman sering diposisikan sebagai urusan perasaan.

“Yang penting hatiku tenang.”

“Iman itu di hati.”

“Enggak usah dibahas, nanti malah ragu.”

Padahal, iman dalam Islam bukan sekadar rasa. Karena rasa itu fluktuatif. Hari ini semangat, besok bisa kosong.

Iman — atau akidah — adalah ikatan keyakinan yang kuat. Dan menariknya, Islam sama sekali tidak melarang akal bekerja dalam urusan iman. Justru sebaliknya.

Mas Ansori menjelaskan bahwa manusia mengenal kebenaran lewat beberapa tahap: melihat langsung, melihat bukti, lalu menilai dan menyimpulkan. Dan Muslim yang sehat imannya adalah Muslim yang berani berpikir, bukan sekadar ikut-ikutan.

Ada satu analogi yang bikin saya senyum tapi juga mikir: kita percaya dokter, padahal sering kali kita tidak pernah cek ijazahnya. Tapi kenapa pada Allah — yang bukti keberadaan-Nya jauh lebih banyak — kita justru sering ragu?

Iman Sekecil Zarah Pun Masih Bernilai

Bagian paling menyentuh dari episode ini adalah saat dibahas tentang syafaat Nabi. Bagaimana Rasulullah ﷺ berulang kali bersujud, memohon agar umatnya diselamatkan. Bahkan mereka yang imannya hanya sebesar biji zarah.

Di sini saya merasa ternyata iman itu seperti benih. Sekecil apa pun, kalau dirawat, masih bisa tumbuh.

Dan ini penting banget buat kita yang sering merasa, “Kok iman saya segini-gini aja ya?”

Selama masih ada iman, masih ada harapan. Tapi tentu, iman itu perlu dirawat, bukan dibiarkan.

Diskusi Penutup yang Bikin Saya Mikir Ulang

Di sesi diskusi, ada peserta yang mengangkat isu kemunduran umat. Saya sendiri bertanya hal yang mungkin terdengar sederhana:

“Sebenarnya, apa sih bare minimum yang harus kita tahu sebagai Muslim?”

Jawaban Mas Ansori — meski sempat terpotong karena koneksi — cukup jelas garis besarnya:

Pertama, aqidah adalah dasar. Bangun iman dengan cara berpikir dan berani bertanya.

Kedua, pelajari Islam secara utuh, jangan dikotak-kotakkan hanya jadi puasa atau sedekah saja.

Ketiga, pahami hukum Islam yang beririsan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Kalau di properti, pelajari properti syariah. Kalau di bisnis, pahami muamalahnya.

Islam bukan untuk disimpan di masjid saja. Islam itu untuk dihidupi.

Kalau saya harus merangkum semuanya dalam satu kalimat, mungkin ini: Perubahan tidak lahir dari slogan, tapi dari iman yang hidup.

Kelas Tadabbook ini mengingatkan saya bahwa sebelum sibuk memperbaiki dunia, mungkin saya perlu lebih jujur menengok ke dalam diri sendiri. Apakah akar saya sudah cukup kuat? Atau jangan-jangan selama ini saya cuma sibuk merapikan daun?

Saya pribadi tidak sabar menunggu pertemuan dua pekan berikutnya. Dan semoga, pelan-pelan, bukan cuma pengetahuan saya yang bertambah, tapi juga kedalaman iman dan kesadaran hidup sebagai Muslim.


Talk soon,
Dyah

Related Posts

Posting Komentar