What I Learn from Tabligh Akbar Ust. Adi Hidayat di Surabaya

Posting Komentar

Bismillah...

Beberapa waktu lalu saya ikut sebuah Tabligh Akbar di Surabaya — bersyukur sekali saya hidup dijaman sekarang, meski terpisah jarak ratusan kilometer saya yang berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 800mdpl ini tetap bisa mengikuti kajian ini melalui livestreaming. Ustadz yang mengisi bukan orang sembarangan: Ust. Dr. Adi Hidayat, yang kalau bicara soal ilmu itu rasanya seperti membuka pintu dunia lain.

Saya ikut awalnya karena… penasaran. Temanya terdengar berat, tapi saya merasa kayaknya ini penting untuk hidup saya sekarang. Ternyata benar. Dari awal sampai akhir, saya seperti diajak mengingat “hal-hal dasar” yang sebenarnya sudah saya tahu, tapi selama ini nggak benar-benar saya pahami cara menghidupkannya.

Dan yang paling menarik, ustadz membahas tentang sesuatu yang beliau sebut sebagai kurikulum hidup. Mendengarnya saja sudah bikin saya mikir, “Wah, ternyata hidup juga ada kurikulumnya ya? Bukan cuma sekolah.”


Gambaran Umum Kajian

Kalau saya ringkas dari kacamata saya sebagai peserta, tema besar kajian ini sebenarnya sederhana: mengajak kita kembali ke pedoman hidup yang dulu membuat para sahabat menjadi manusia luar biasa. Tapi penyampaiannya detail banget.

Ustadz membuka kajian dengan cerita yang menyentuh tentang rahmat Allah. Beliau mengingatkan bahwa majelis ilmu adalah tempat Allah menurunkan ampunan. Bahkan kalau ada yang punya masa lalu kelam sekalipun, pintu rahmat itu tetap terbuka. Kisah tentang seorang yang membunuh 100 orang dan akhirnya diarahkan untuk pergi ke majelis ilmu muncul sebagai contoh betapa besarnya peran lingkungan ilmu dalam memperbaiki hidup.

Setelah itu, ustadz membawa kita ke konteks sejarah Nusantara. Beliau cerita tentang bagaimana bangsa ini dulu besar dan bermartabat ketika ilmu dijadikan pedoman. Tapi sekarang, banyak dari kita cuma mengenang masa kejayaan itu sebagai dongeng.


Dan di sinilah inti kajian mulai masuk: kita mundur karena meninggalkan kurikulum hidup yang pernah diajarkan Nabi.


Isi Kajian yang Saya Catat

Kurikulum Hidup — Fondasi 40 Sahabat Pertama

Ustadz menjelaskan bahwa Nabi mengajarkan satu kurikulum inti kepada generasi awal Islam: 40 sahabat pertama. Mereka belajar selama bertahun-tahun, tapi bukan sekadar belajar teori. Mereka belajar cara hidup: bagaimana makan, berdagang, berkeluarga, memimpin, sampai mengatur emosi.

Jadi ketika kita kagum pada Umar bin Khattab atau Khalid bin Walid, sebenarnya mereka tidak tiba-tiba hebat. Ada sistemnya. Ada kurikulum yang membentuk mereka.


Imam Bukhari: The Curriculum Architect

Di bagian ini saya benar-benar bengong. Saya kira Shahih Bukhari itu hanya kumpulan hadis, ternyata justru itu kurikulum paling rapi dalam sejarah umat Islam. Imam Bukhari menyusun bukunya seperti seorang arsitek pendidikan.

Bayangkan:

  • 16 tahun beliau berkeliling mengumpulkan hadis.
  • 7.275 hadis dikumpulkan (sekitar 4.000 tanpa pengulangan).
  • Disusun menjadi 97 topik utama dan 2.000 subtopik.
  • Urutannya mengikuti perjalanan hidup manusia dari A sampai Z.

Dan yang bikin saya tertegun justru urutan paling awal bukan soal ibadah, tapi soal iman dan ilmu.


Masuk ke Kitabul Ilmi

Ketika masuk ke inti materi, ustaz menjelaskan kenapa Imam Bukhari membuka bab ilmu dengan “Keutamaan Ilmu”. Beliau bilang, “Manusia itu kalau dikasih tahu manfaatnya dulu, biasanya lebih semangat.”

Betul juga. Kayak kalau kamu dikasih tahu manfaat olahraga atau manfaat sedekah dulu, baru kamu termotivasi melakukannya. Ini persis metode Qurani: bangun awareness sebelum action.

Kitabul Ilmi membahas banyak hal, termasuk:

  • Waktu belajar terbaik
  • Adab majelis ilmu
  • Kurikulum untuk laki-laki dan perempuan
  • Desain rumah sebagai tempat belajar
  • Teknik menguatkan hafalan
  • Sampai kategori manusia berdasarkan daya ingat (tbh this one blew my mind)


Kategori Kemampuan Mengingat

Ustaz menjelaskan ada 5 kategori kemampuan mengingat menurut Nabi. Sebagian besar kita mungkin hanya tahu dua: cepat ingat atau cepat lupa. Ternyata jauh lebih kompleks.

Mulai dari: cepat ingat tapi lambat lupa sampai lambat ingat tapi sulit lupa dan kategori tertinggi cepat ingat, sulit lupa.

Yang menarik adalah: Nabi tidak hanya mendefinisikan kategorinya, tapi juga memberi panduan, doa, dan metode agar seseorang bisa naik level. Artinya kemampuan mengingat itu bisa dilatih.

Saya langsung mikir: selama ini kita fokus pada “akutuh pelupa”, padahal sebenarnya bisa di-upgrade kalau mau menjalankan langkahnya.


Iman Sebelum Ilmu

Bagian ini cukup menampar saya.

Imam Bukhari menempatkan bab iman sebelum ilmu. Alasannya sederhana: ilmu hanya akan melahirkan amal saleh kalau ditopang iman.

Ustaz menjelaskan perbedaan:

  • amal baik,
  • amal saleh,
  • amal salah.

Kalau kamu berbuat baik tanpa iman, ya itu tetap baik, tapi nilainya hanya di dunia. Kalau karena iman, itu baru disebut amal saleh dan dinilai sampai akhirat. Ustaz memberi contoh: “Orang kafir berbuat baik, Allah balas di dunia. Tapi tidak di akhirat.” Saya terdiam lama di bagian ini.


Apa Itu Kurikulum Hidup & Kenapa Penting

Nah, ini bagian yang paling nendang buat saya. Kurikulum hidup itu bukan modul PDF atau silabus mata kuliah. Ini pedoman menjalani hidup 24 jam, yang dulu diajarkan Nabi dan dipetakan ulang oleh Imam Bukhari.

Isinya mencakup semuanya: iman, ilmu, ibadah, bisnis, diplomasi, akhlak, keluarga, sampai cara tidur dan bangun.

Yang bikin saya makin terpikir: para sahabat hebat bukan karena mereka genius, tapi karena mereka menjalankan kurikulum hidup ini dengan disiplin.

Bagaimana dengan kita? Ustaz mengatakan bahwa kurikulum ini bisa banget diterapkan di zaman modern dengan cara yang lebih relevan:

  •  Masjid bisa bikin kelas tematik baru (bisnis, keluarga, pemuda).
  •  Keluarga bisa bikin mini-kurikulum tiap pekan (waktu baca, ibadah, hafalan).
  •  Guru dan pengajar bisa pakai metode Qurani: jelaskan keutamaannya dulu.

Dan yang paling penting: setiap Muslim seharusnya punya roadmap personal, bukan hidup mengalir saja.


Nilai Akhlak & Pelajaran Spiritual

Ada beberapa hal yang benar-benar mengena buat saya secara pribadi.

1. Rahmat Allah itu luas sekali
Kadang kita (saya sih lebih tepatnya) datang ke kajian dengan perasaan tidak layak. Diingatkan bahwa Allah ampuni pembunuh seratus orang—asal dia mau mencari jalan menuju ilmu—itu membuat saya merasa “kalau mereka saja punya harapan, masa saya tidak?"

2. Jangan cuma kagum pada sejarah, tapi tiru kurikulumnya
Ini menohok. Kita suka kagum pada para sahabat, tapi cara mereka dibentuk tidak kita tiru. Kita baca kisah Umar sebagai cerita inspiratif, bukan sebagai *pola hidup*.

3. Iman adalah fondasi semua perbaikan
Ustaz menyampaikan dengan sangat sederhana: “Tanpa iman, ilmu itu hanya prestasi. Dengan iman, ilmu itu jadi amal saleh.”

Dan saya merasa itu benar sekali. Kadang kita belajar banyak, ikut kursus, ikut kelas, tapi kalau hati kita kosong, hasilnya cuma sibuk, bukan berubah.


Hal yang Bisa Kamu Praktikkan

Supaya artikel ini tidak berhenti jadi catatan saja, saya rangkum langkah praktis yang menurut saya realistis kamu mulai hari ini:

Checklist Kurikulum Hidup Versi Praktis:
□ Mulai prioritaskan iman sebelum ilmu (perbaiki niat sebelum belajar atau bekerja).
□ Luangkan minimal 10 menit sehari untuk *tadabur* atau membaca sesuatu yang menambah iman.
□ Atur rumah jadi “tempat ilmu”: ada rak buku, catatan, atau space kecil untuk belajar.
□ Ikuti majelis ilmu secara rutin, walaupun sebulan sekali.
□ Buat mini-kurikulum keluarga: jadwal baca, diskusi, atau salat bersama.
□ Latih daya ingat: pilih satu doa atau ayat untuk dihafal dan diulang seharian.
□ Terapkan metode Qurani saat belajar atau mengajari orang: jelaskan manfaat sebelum aturan.
□ Pilih satu masjid dan ikuti programnya secara konsisten, bukan loncat-loncat.

Kecil, tapi kalau dilakukan, efeknya terasa (insyaAllah). Kalau saya simpulkan, benang merah kajian ini adalah kejayaan umat Islam dulu bukan karena jumlah, bukan karena kekuatan, tapi karena mereka menjalani hidup dengan kurikulum yang Allah turunkan melalui Nabi.

Dan kurikulum itu masih bisa kita pakai hari ini. Tinggal kitanya yang mau atau tidak.

Saya sendiri setelah menonton kajian ini langsung diselimuti dengan perasaan hangat sekaligus tertampar. Ternyata banyak yang saya kejar dalam hidup, tapi saya lupa membangun fondasi. Tapi tidak apa-apa. Mulai dari satu langkah kecil pun sudah cukup.

Kalau kamu sedang merasa hidup “berantakan”, mungkin inilah saatnya mencoba satu hal dari kurikulum hidup ini.

Tidak perlu semua sekaligus.

Satu langkah saja.

Hari ini.

Semoga catatan saya ini bisa jadi pengingat kecil buat kamu, seperti halnya kajian itu menjadi pengingat besar buat saya. Jika kamu nanti sempat hadir di majelis-majelis seperti ini, mungkin kamu akan merasakan hal yang sama: bahwa ilmu itu benar-benar bisa menghidupkan kembali hati yang lama tertidur.


Talk soon,
Dyah

Related Posts

Posting Komentar