Bismillah...
Saya kalo boleh jujur ya… ikut kelas ini karena FOMO! Ya, hampir semua teman-teman saya sering sekali menyinggung soal Baitul Maqdis tiap kali mereka posting sesuatu di sosmed. Dan yang membuat saya memutuskan mengikuti kelas ini karena judul kelasnya Baitul Maqdis Class (Online Beginner)—"wah cocok nih buat saya", pikir saya.
Baitul Maqdis. Saya sama sekali tidak tahu apa itu. Tapi kedengarannya jauh, politis, dan kayaknya “urusan orang sana”.
Tapi setelah mengikuti kelas ini, pelan-pelan saya sadar, mungkin yang jauh itu bukan Baitul Maqdis—yang jauh itu pemahaman saya sendiri.
Ruang Zoom yang Terasa Dekat
Kelas dimulai sederhana. Wajah-wajah muncul di layar Zoom. Meskipun saya sendiri tidak menyalakan kamera karena jaringan saya tentu akan sangat terganggu dengan tambahan koneksi video. Namun banyak sekali pesertanya diatas 150 orang tiap episodenya. Ada yang dari Surabaya, Makassar, sampai Manado. Saya rasa pasti ada perwakilan dari tiap provinsi di Indonesia. Rasanya hangat. Kayak lagi duduk di satu ruangan besar, padahal terpisah pulau.
Pertemuan Pertama:
Kita Disuruh Membaca, Tapi Kita Tidak Membaca
Ada satu kalimat yang bikin saya diam lama “Umat Islam itu disuruh membaca, tapi tidak membaca.”
Saya refleksi.
Sudah berapa buku tentang Baitul Maqdis yang saya baca? Jawabannya… nyaris nol. Itupun kalo menghitung 30 menit yang saya habiskan untuk baca buku "BMFD" cover to cover milik kak Anila saat main ke kost-nya.
Padahal Baitul Maqdis ini adalah tempat:
- kiblat pertama,
- tempat Isra’ Mi’raj,
- tanah para nabi,
- dan disebut langsung dalam Al-Qur’an.
Ironis, mungkin ya? Kita ribut soal Palestina, tapi kita bahkan tidak tahu apa itu Baitul Maqdis.
Tidak tahu batasnya.
Tidak tahu maknanya.
Tidak tahu sejarahnya.
Kita Sakit, Tapi Salah Berobat
Kak Atik lalu pakai analogi sederhana, tapi kena banget. Kalau sakit, kita (seharusnya) ke mana? Ke dokter. Tapi umat Islam hari ini, katanya, lagi sakit… tapi malah perginya ke montir.
Hal-hal seperti demo, donasi, boikot—itu bukan hal yang salah. Tapi kalau berhenti di situ saja, itu seperti orang sakit kronis tapi minum obatnya cuma paracetamol. Nyeri reda sebentar tapi ya besoknya kambuh lagi. Lalu kita heran “Kenapa nggak sembuh-sembuh?”
Cinta Emosional Itu Cepat Habis
Bagian ini bikin saya senyum pahit. Cara kita mencintai Baitul Maqdis sering kayak fans dadakan. Sedih pas ada tragedi. Marah pas ada video viral. Diam saat isu mereda. Bukan karena kita jahat tapi karena cinta tanpa ilmu itu lemah. Ilmu bikin cinta bertahan lama.
Akar Masalahnya Ada di Kepala Kita
Masuk ke bagian yang paling berat. Ternyata masalah umat bukan cuma miskin, terpecah, atau cinta dunia. Itu semua cuma gejala aja.
Akarnya ada di kita tidak tahu (atau lebih nampol kalo disebut dengan malapetaka pengetahuan), cara pikir kita dijajah, lalu kita tunduk pada pemikiran itu.
Kita pakai nama Islam, tapi rujukan hidupnya Barat.
Kita bicara pembebasan, tapi solusinya selalu dari luar Islam. JLEB.
Pembebasan Itu Dimulai dari Ilmu
Kalimat yang saya catat besar-besar “Masalah akal, diselesaikan dengan akal.”
Bukan emosi.
Bukan reaksi sesaat.
Tapi ilmu yang ikhlas dan strategis.
Belajar Baitul Maqdis ternyata bukan nostalgia sejarah.
Ini soal membangun ulang cara berpikir.
Dan mungkin, perjuangan terbesar kita hari ini bukan di medan perang, tapi di ruang belajar.
Pertemuan Kedua: Dari Ilmu ke Ma’rifah
Jujur ya, sebelum ikut pertemuan kedua ini, saya ngerasa diri saya tuh udah peduli. Saya udah mulai follow berita-berita. Udah marah pas lihat timeline tentang genosida yang terjadi di sana.
Tapi di kelas itu, Kak Bunga bilang satu kalimat yang menohok banget “Bisa jadi kita tahu banyak, tapi belum sadar sepenuhnya.”
Dan di situ saya paham, ternyata masalah kita bukan kurang informasi. Masalah kita berhenti di tahu saja, tapi belum sampai sadar. Apa bedanya?
Ilmu Itu Tahu, Ma’rifah Itu Sadar
Ilmu bikin kita bisa ngomong. Ma’rifah bikin kita bergerak.
Ilmu itu kulit. Ma’rifah itu daging, tulang, sampai ke inti.
Makanya wajar kalau hari ini banyak yang pintar, banyak yang berilmu, tapi diam, bingung, atau nyinyir. Karena gelar tidak otomatis bikin seseorang sampai ke ma’rifah.
Enam Tangga yang Sering Kita Lewati
Di kelas dijelasin, ternyata ada proses panjang sebelum aksi yang benar-benar bermakna. Mulai dari:
- mendeskripsikan dengan benar,
- menjelaskan dengan jujur,
- memahami,
- menafsirkan,
- merealisasikan,
- lalu bergerak dengan arah yang jelas.
Masalahnya? Kita sering berhenti di “paham”.
Udah ngerti.
Udah bisa debat.
Udah bisa jelasin.
Tapi belum tentu mau turun tangan.
Salah Istilah, Salah Arah
Kenapa banyak yang apatis? Bukan karena hatinya keras. Tapi karena sejak kecil kita dicekokin istilah yang salah.
Kalau sesuatu disebut “konflik” dan bukan “penjajahan” atau “genosida”, reaksinya pasti beda.
Salah istilah itu efeknya panjang. Salah deskripsi bisa bikin salah aksi.
Ilmu Itu Amanah, Bukan Koleksi
Bagian ini paling “nusuk” buat saya. Ilmu itu bukan buat disimpen sendiri. Kalau tahu tapi diam, itu egois namanya.
Dan saya refleksi selama ini saya belajar buat apa?
Buat pinter sendiri?
Buat ngerasa “lebih tahu”?
Padahal kalau Rasulullah nunggu “pantas” dulu buat dakwah, kita nggak akan kenal Islam hari ini.
Dari Aktif ke Proaktif
Baitul Maqdis tidak butuh orang yang cuma aktif. Like. Share. Selesai.
Yang dibutuhkan itu orang-orang proaktif.
Bergerak karena sadar.
Berkontribusi tanpa disuruh.
Dan kontribusi itu luas, contohnya apa? Bisa dengan menulis, desain, ngajar, riset, edukasi. Semua potensi bisa dipakai.
Kenapa Nama Baitul Maqdis Penting?
Awalnya saya kira ini sepele. Ternyata tidak.
Nama itu pondasi.
Rasulullah sengaja mengganti nama Ilya menjadi Baitul Maqdis.
Artinya rumah yang disucikan.
Rumah kita.
Soft Power Itu Tanggung Jawab Kita
Hari ini kekuatan kita bukan senjata. Tapi ilmu dan kesadaran. Soft power.
Belajar.
Meluruskan narasi.
Membangun kesadaran.
Menyebarkan istilah yang benar.
Capek? Iya.
Tapi capek di jalan ini tandanya kita sedang dipakai Allah.
Setelah dua pertemuan ini, kepala saya dipenuhi dengan pertanyaan, saya mau berhenti di sekedar tahu atau naik menjadi kesadaran?
Karena pembebasan Baitul Maqdis itu bukan soal viral. Tapi soal siapa yang mau bertahan di jalan panjang ini.
Dan mungkin langkah paling sederhana yang bisa kita mulai hari ini adalah dengan
- menyebutnya dengan benar,
- memahaminya dengan jujur,
- dan bergerak sesuai kapasitas.
Pelan-pelan tapi insya Allah konsisten.
Karena rumah kita tidak akan kembali kalau penghuninya cuma diam.
Masih ada dua pertemuan lagi di kelas ini, insya Allah saya akan update postingan ini.
Talk soon,
Dyah
Posting Komentar
Posting Komentar