Bismillah...
Kemarin malam saya menghabiskan malam minggu dengan bertamu ke rumah tetangga sebelah rumah. Kebetulan rumah saya itu posisinya agak nyempil, jadi jarak ke tetangga paling dekatpun masih 100 meter.
Ini adalah kali pertama saya bersosialisasi dengan lingkungan desa ini. Tetangga saya yang sejak seminggu saya disini saja sudah 3 kali ke rumah dan selalu mengajak saya untuk ganti mengunjungi rumahnya. Maka malam kemarin adalah pemenuhan permintaan mereka.
Yang terbayang oleh kalian mungkin kami akan berkumpul, mengobrol dan bercengkrama dengan hangat, ya kan? Sayangnya hal itu kurang tepat. Karena begitu saya datang, kami memang langsung di sambut oleh tuan rumah sambil mereka menyiapkan tikar-tikar di ruang keluarga dan menyuguhkan kopi tubruk manis.
Namun begitu kami duduk, serentak semua orang; baik tuan rumah maupun kami sebagai tamu langsung mengeluarkan hp dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang menonton tiktok, ada yang membuka WA, ada yang bermain game, ada yang menonton youtube.
Kehangatan yang saya dapat hanya dari secangkir kopi tubruk manis yang ampasnya seperti kerikil—masih menang americano sih kalo menurut saya. Mungkin memang seperti inilah kehangatan bercengkrama di desa, cukup dengan berkumpul sambil duduk rebahan bersantai setelah seharian beraktivitas, berbagi selimut yang sama agar bisa digunakan 4 orang dewasa dan 2 anak-anak adalah style masyarakat disini. Kami cukup meng-acknowledge kehadiran satu sama lain, mungkin itu arti kehangatan sebenarnya.
Talk soon,
Dyah
Posting Komentar
Posting Komentar